Marvel Pernah Bangkrut, Marvel Memberikan Hampir Semua Yang Mereka Miliki



Kesuksesan Marvel Cinematic Universe (MCU) di dunia perfilman Hollywood sudah ngga bisa diragukan lagi. Beberapa filmnya bertengger di list film dengan pendapatan tertinggi. Dan baru baru ini ditahun 2018 ini Avengers – Infinity Wars memasuki rekor baru dengan pendapatan mencapai $ 2Milyar Dollar America. Selevel dengan film Avatar , Titanic, dan Star Wars – The Force Awaken. WAAHH!! Membuat Marvel Studio menjadi salah satu raksasa Box Office di Hollywood.
Setelah tau itu semua,
Tahukah bahwa Marvel Sendiri pernah berada diambang kebangkrutan? Bahkan, mereka rela menjual lisensi beberapa karakter mereka hanya untuk mendapatkan uang cash,  untuk membayar sewa Gedung, dan para karyawan.

Yok kita tela-ah lebih lanjut topik ini:
23 Desember 1996, Marvel mengajukan status kebangkrutan atas perusahaannya kepada pengadilan kepailitan Amerika Serikat. Perusahaan itu kehilangan uang dengan sangat cepat. Bahkan lebih buruk lagi, mereka memiliki hutang yang besar dimana salah satunya kepada DISNEY sebesar USD 1,700.000, dimasa itu lebih dari 1/3 karyawan Marvel diberhentikan .
Sangat ironis mengingat karakter karakter milik mereka sangat terkenal dan diakui diseluruh dunia. Namun dikala itu masa depan Marvel eehh suram.

Jadi bagaimana Marvel merangkak dari level paling bawah menggunakan tenaga yang ada sampai sekarang memuncaki dunia bisnis perfiliman Hollywood?

Jawabannya: Mereka mempertaruhkan segalanya

Jika mereka ingin tetap bertahan mereka harus memulai benar benar berfikir bagaimana cara untuk menghasilkan uang.
Dikala itu, Marvel memiliki rencana baru  untuk membuat restoran bertemakan Marvel Mania, CD Interaktif Marvel, dan Mainan Trading Card bekerjasama dengan Skybox.

Tahun 1998, Restoran Marvel Mania dibuka di satu lokasi. Namun ditutup setahun kemudian. Rencana CD interaktif dan Trading Card sangat ketinggalan jaman pada waktu itu. Dan itulah sebabnya kenapa Marvel menjadi sangat kacau. Terlalu tertinggal dan ngga ada ide Inovatif.

Sementara sebagian rencana marvel gagal total, Project film Blade adalah bagian dari perjanjian ambisius marvel yang menjual hak lisensi Cinematic dari film ini sama seperti mereka memberikan lisensi X-Men kepada Twenty Century Fox dan Spider Man kepada Sony Picture . semuanya dilakukan hanya untuk mendapatkan uang cepat untuk keperluan keberlangsungan Marvel Sendiri.

Diatas kertas ide ini cukup bagus bagi bisnis sebenarnya. Film film marvel modern pun mulai bermunculan di Box Office: Blade, X-Men, Spider Man. Masing masing dari film ini sukses di Box Office dan menghasilkan banyak uang bagi semua orang yang terlibat. Semua orang kecuali Marvel.

Film Blade menghasilkan USD 70.000.000 di Box Office America. Tetapi mirisnya marvel hanya kebagian USD 25.000 saja. :’(  karna perjanian Flat Fee antara marvel dan beberapa studio yang menggarap film ini. Bahkan dibalik kesuksesan X-Men Marvel ngga dapat apa apa kecuali uang cash saat menjual lisensi film itu. Yang mana bisa dibilang receh dibandingkan apa yang X-Men hasilkan.

Tahun 2003, Seorang agen pencari bakat David Maisel memberikan ide sederhana kepada marvel, namun Radikal.
David Maisel
Katanya ‘Kenapa terus menerus memberikan asset terbaik anda kepada perusahaan lain hanya untuk uang receh? Buatlah Studio produksi sendiri, kembangkan sendiri dan hasilkan judul judul film sendiri, dengan karakter sendiri, dan ambil 100% keuntungannya sendiri’. Pada saat itu marvel sangat tertarik tapi ragu untuk memulainya.

Setelah tujuh tahun bekerja keras mencari keuntungan setelah kebangkrutan mereka, mereka memiliki hasil sendiri walaupun dengan jumlah yang terbilang kecil. Namun muncul pertanyaan ‘kenapa mereka lagi lagi harus mempertaruhkan hasil kecil mereka hanya untuk project yang memiliki resiko menjadi bangkrut lagi?’

Maisel bersikeras akan idenya itu. Argumennya adalah ‘Kalo aja project ini gagal, Marvel bisa dibilang ngga lebih buruk dari saat ini’. Tetapi dengan kesempatan untuk menjadi studio sukses milik mereka sendiri dengan control atas asset dan finansial mereka rasanya sayang jika kesempatan itu dilewatkan.

Berlanjut . . .