Semua yang melihat pasti terkejut melihat Pendiri Facebook Mark Zuckerberg menerima
kunjungan Presiden Indonesia Jokowi Dodo di markasnya pada awal Februai 2016 dengan memaki kaos oblong. Anda
mungkin menganggap dia tidak sopan. Anda tidak sendiri. Michael Pachter,
seorang analis pasar modal terkemuka di Wall Street untuk bidang video
game, media sosial, media digital, dan elektronika juga sependapat
dengan Anda. Pachter berpendapat bahwa Zuckerberg tidak dewasa dengan
gayanya itu tatkala ia menghadiri penjualan saham perdana (IPO) Facebook
di Wall Street dengan memakai kaos oblong. Bagi pelaku pasar modal Wall
Street, setelan jas adalah satu-satunya pakaian yang pantas dikenakan
di sana. Karena itu Pachter menuduh Zuckerberg bersikap tidak sopan
kepada para calon investornya, orang-orang yang dia harapkan memberinya
uang.
Kenyataan menunjukkan bahwa Pachter keliru. Para investor ternyata tidak
terlalu peduli dengan penampilan Zuckerberg. Saham Facebook laris, dan
jumlah penggunanya terus bertambah dengan cepat.
Mengapa Zuckerberg memilih untuk memakai kaos oblong, dan semua kaosnya
nyaris serupa? Ia memberi alasan bahwa setiap hari ia harus membuat
begitu banyak keputusan penting terkait pelayanannya kepada 1,5 milyar
pengguna Facebook. Ia berambisi menjadikan Facebook sebagai sesuatu yang
sangat penting, sama seperti pentingnya energi listrik bagi kita saat
ini. Maka, ia memilih untuk menggunakan energi pikirnya hanya untuk
hal-hal penting terkait dengan pelayanan tadi. Memikirkan baju apa yang
hendak dipakai, menyesuaikan dengan berbagai acara yang akan dia hadiri
adalah sesuatu yang “bodoh” menurut Zuckerberg. Dalam bahasa kita, itu
adalah sesuatu yang mubazir.
Mark Zuckerberg memposting isi lemari pakaian kaosnya |
Tidakkah ini terdengar mengada-ada? Tidak. Bagi kita yang bekerja dengan
ritme sederhana, kita tentu punya cukup energi untuk memikirkan hal-hal
yang tak perlu. Tapi bagi orang-orang yang super sibuk, membuat puluhan
atau ratusan keputusan setiap hari, hidup jadi sungguh melelahkan.
Mereka mengalami sesuatu yang disebut decision fatigue, kelelahan
(karena) pembuatan keputusan. Mereka perlu menyerdehanakan banyak hal,
sehingga tidak memerlukan energi untuk memikirkannya.
Sebenarnya Zuckerberg tidak sendiri. Obama pun berpikir dengan cara yang
sama. Yang berbeda hanya pada pilihan jenis pakaian. Obama memilih
setelah jas berwarna biru sebagai identitasnya. Tentu saja Zuckerberg
juga bukan yang pertama. Steve Jobs kita kenal dengan kaos kerah
kura-kura, sedangkan Bill Gates sering tampil memakai sweater. Hanya
saja Zuckerberg sedikit lebih ekstrim, baik dari sisi pilihan jenis
busana maupun frekuensi pemakaiannya.
Kita terbiasa menilai orang dari pakaian yang ia kenakan, bukan
substansi yang terkandung pada sosok tersebut.
Di sisi lain kita juga
sering berhadapan dengan kenyataan bahwa citra yang dibangun melalui
dandanan necis tidak selalu benar. Banyak orang yang sudah tertipu
dengan hal ini, namun tetap saja persepsi awalnya tidak berubah.
Persepsi itulah sepertinya yang hendak dibongkar Zuckerberg melalui kaos
oblong yang ia kenakan. Ia ingin orang melihat kualitas produk dan
layanan yang ia berikan, tanpa ambil pusing dengan pakaian yang ia
kenakan.
Seorang analis fashion berkomentar,”When you’re a massively proven success, you get to break the rules.” Kalaupun Zuckerberg berdandan seperti Lady Gaga, orang akan tetap memakai produknya, dan membeli sahamnya. Zuckerberg adalah sosok luar biasa, berdiri pada posisi yang luar biasa, maka ia bisa mematahkan berbagai aturan yang mengikat orang-orang biasa.
Bagi orang Indonesia sebenarnya hal ini tidak sama sekali baru. Kita
pernah punya Bob Sadino yang selalu memakai celana pendek dan baju
kotak-kotak ke mana pun ia pergi. Ia pernah hadir di rapat dengar
pendapat di DPR dengan pakaian itu, kemudian ditolak. Namun dalam
berbagai aktivitas lain Bob Sadino diterima apa adanya, sebagaimana
Zuckerberg.
Semoga Bermanfaat.
baca juga : MARK ZUCKERBERG - AWAL MULA FACEBOOK