Rintik hujan kian menderas sore itu. Hatiku tergerak untuk keluar menemui seseorang. Payung aku ambil, bergegas menembus rintik hujan yang kian ramai berkoloni membuat genangan-genangan baru di pinggir jalan. Di tengah langkah kaki menembus hujan itu pikiranku melambung..
—
Aku adalah seorang santri di salah satu pondok pesantren di Surabaya. Dalam atmosfer pesantren ini aku belajar banyak hal, tentang agama, persahabatan juga cinta.
Pagi itu awal aku menjadi santri. Serangkaian kegiatan dalam masa orientasi pun aku jalani. Sampai pada suatu hari aku melihat santri putri, kakak kelasku. Ia terlihat sedang sibuk dengan kakak-kakak kelas yang lain. Sibuk mengatur acara MOS madrasah. Pada ujung bibirnya terlihat simpul manis tiap kali ia berkata. Tak heran, setelah aku bertanya mencari-cari tahu namanya, aku yakin harapan orangtuanya yang tersirat pada namanya dikabulkan Sang Maha Cinta. Halwa, bahasa arab yang berarti manis.
“Ning, acara besok kamu yang menjadi mc yaa..”, kata santri putri, kakak kelasku, yang ada di samping Halwa.
“Oh.. Iya. Insyaallah. Memangnya Ummi kemana? Bukannya biasanya ia yang…”, dengan terpaksa aku potong tutur halusnya. Aku utarakan maksudku untuk meminta tanda tangan, mengisi lembar panitia MOS, karena memang harus terisi penuh.
Allaaahh.. pulpenku terjatuh. Aku jongkok untuk mengambilnya. Semakin bergetar hatiku tak menentu ketika ternyata Halwa juga hendak mengambilnya. Ya tuhan.. bagaimana ini? Mataku tak sengaja menangkap indahnya sudut mata Halwa yang hitam tipis oleh celak. Untuk kali ini hatiku jatuh. Jatuh entah kemana. Melayang tak tentu arah..
—
Pikiranku buyar. Kembali di bawah payung, di tengah rintik hujan sore itu. Aku menyadari di sampingku ada Halwa yang memang aku temani sedari tadi. Kebetulan ia hendak pulang ke rumahnya di Sidoarjo setelah berkunjung ke pondokku, menyampaikan brosur salah satu universitas di Jakarta. Universitas Islam Negeri yang ia tempati sekarang.
“Gus, aku ndak bawa oleh-oleh ke sini,”, ucapnya.
“Nggih, mboten nopo kok.. Aku sudah bisa melihat senyum yang tak kalah manis dengan dulu saja sudah cukup menjadi oleh-oleh tersendiri buatku.”, jawabku sambil terus berjalan.
Percakapan kami terus berlanjut meski di tengah hujan dan dalam perjalanan yang singkat bagi hati sepasang kekasih yang sedang berbunga ini. Kami berjalan bersama. Aku membawa payung, ia juga membawa payung sendiri. Tetap dengan jarak yang kami jaga. Selama ini kami memang sepasang kekasih yang saling menjaga. Menjaga kepercayaan hati, aku di Surabaya dan ia Jakarta. Menjaga keimanan agar cinta tidak berkelana semau hawa. Aku menjaga cintanya. Halwa menjaga cintaku. Meski jarak menjadi satir berlapis bagi kami.
“Terima kasih yaa gus…”, ucapnya dari jendela angkot kuning yang masih terus ditimpa rintik hujan.
“Jangan lupa payung tadi.. nanti dikembalikan ke kantor pondok putri yaa.. Aku merindukanmu..”, imbuhnya halus sambil melambaikan tangan padaku yang masih berdiri di tepi trotoar. Aku membalasnya dengan senyum. Angkot itu berjalan perlahan. Aku terus memandanginya. Menjauh.. menjauh.. hilang. dan wajahku masih membawa senyum di sepanjang langkahku kembali menuju asrama pesantren.
________________________
Karangan Oleh: Mu’hid Rahman
Blog: zuwayla.blogspot.com
Pegiat blog dan mahasiswa Universitas al-Azhar, Kairo
0 Comments